SI “KAYA” BERBICARA DEMOKRASI

SI “KAYA” BERBICARA DEMOKRASI

0
BAGIKAN
Emyr M Nur

Sebuah Sistem PemberianDan Hadiah Sejarah

Banteninfo (Opini)- Dalam perjalanan bangsa kita, proses demokrasi tidak muncul secara tiba-tiba. Ia hadir dalam pergulatan yang sangat panjang serta melelahkan dan demokrasipun diwarnai bongkar pasang modelnya. Di masa demokrasi liberal, demokrasi amat gaduh karena energi bangsa terpusat pada pertikaian antar-elite di parlemen yang berdampak pada silih bergantinya pemerintahan dalam waktu yang singkat. Percobaan berikutnya adalah demokrasi terpimpin. Di masa ini, demokrasi begitu terpuruk karena demokrasi tidak lebih dari personifikasi Presiden Soekarno. Demokrasi terpimpin hancur, kemudian ditelikung oleh rezim orde baru  dengan label demokrasi pancasila. Dalam demokrasi ini, kehidupan bernegara justru bertumpu pada hegemoni Soeharto dan kroninya.

Kini di era reformasi, fase sejarah demokrasi itu belum menunjukkan prestasi yang membanggakan. Kita  menapaki jalan demokrasi dengan terseok-seok. Pendulumnya justru mengarah kembali kepada demokrasi liberal, namun lebih kental aroma kapitalistiknya. Jikapun ada keberhasilannya, tiada lain sebatas demokrasi prosedural semisal pemilu 5 tahunan. Demokrasi belum menyentuh pada aspek substansial.

Selama kurang lebih sepuluh tahun terakhir, demokrasi Indonesia diperlakukan seperti pemberian hadiah tanpa syarat. Ada orang-orang atau kelompok yang merasa ‘diberi’ , lalu sesukanya menggunakannya. Mereka yang menganggap demokrasi sebagai hadiah inilah yang membuat demokrasi tidak berjalan ke arah yang lebih baik. Padahal hadiahpun harus dimanfaatkan dan dirawat sebaik mungkin guna menghargai si pemberi. Kaum oligarki telah membajak demokrasi. Melalui demokrasi prosedural, kaum oligarki ini menguasai kepartaian dan negara. Sementara rakyat hanya dijadikan embel-embel demokrasi yang ketika dibutuhkan dapat dibeli dengan uang jika pemilu/pilkada telah tiba.

Situasi ini, yakni dikuasainya negara oleh kaum oligarki ini benar-benar menampar rasa nasionalisme kita yang diperjuangkan dengan susah payah itu. Dikuasainya negara oleh kaum oligarki ini membuat kita bertanya-tanya, inikah yang disebut satu nusa satu bangsa (one state, one nation), atau sesungguhya telah menjadi (one state, two nation); bangsa elite dengan bangsa jelata, bangsa penjajah dengan bangsa terjajah (lagi)?

Baca Juga :   Pemanfaatan Limbah Plastik Dengan Metode Ecobrick Dalam APE (Alat Permainan Edukatif) Sebagai Usaha Perubahan Lingkungan Dimasa Pandemi

Gejala Politik : Munculnya Istilah Demokrasi Kapitalistik Dan Nihilistik

Hari ini, politik seolah tak lagi menjadi ruang publik atau rumah bersama bagi kemuliaan hidup. Politik bukan lagi untuk mencipta negara demi tercapainya kebahagiaan seperti yang diajarkan Aristoteles dan Al-Farabi, atau yang dicita-citakan JJ Rousseau tentang kedaulatan rakyat.

Politik hari ini yang tumbuh tidak lebih dari politik yang melahirkan ‘demokrasi omong kosong’. Politik dipersempit menjadi ruang perebutan kekuasaan politik dan penimbunan kekayaan antar para oligarki, sementara rakyat kebanyakan dibayar untuk berduyun-duyun melegalkan manipulasi tersebut lewat Pemilu, Pilkada, atau sekedar dimobilisasi untuk aksi-aksi mendukung jagoannya. pertama, Demokrasi Kapitalistik. Demokrasi ini menyuburkan praktik kekuasaan yang dimonopoli elite dan  kelompok berduit. Kita seperti diajak memasuki zaman ketika politik nyaris serupa dengan bisnis, dan pimpinan cukup bagi mereka yang berkantong tebal saja. Alih-alih menghidupkan politik dengan virtue dan value, mereka justru mencari kehidupan dari politik. Politik akhirnya menjadi serba materialistik, penuh kalkulasi, dan termonopoli oleh kelas ekonomi tertentu yang haus akan kekuasaan. Kondisi semacam ini tumbuh subur dalam sistem demokrasi langsung, dan konsekuensinya politik menjadi mahal atau biaya tinggi (high cost politics).

Demokrasi ini tentunya menjadi tidak sehat, karena menciptakan ketidaksetaraan; kandidat yang tidak punya uang versus yang punya uang. Orang tidak lagi dipandang sederajat dalam politik.Akhirnya,status orang dalam politik tidaklah dipandang berdasarkan kemampuan dan keahlianya dalam berpolitik.Akan tetapi,politik dipandang dari segi kemampuan dananya sehingga ini sangat rentan dengan plutokrasi, yaitu kekuasaan ditangan kaum kaya raya.Sebab, demokrasi yang serba mahal ini hanya membuka  pintu kontestasi pada kaum kaya. Sedangkan posisi rakyat tak lebih sebagai mesin pengumpul suara-tak jauh berbeda dengan nasib para pengirim SMS pada ajang pencarian ajang bakat di televisi.

Baca Juga :   FK2I UIN Jakarta, Menggelar Ramadhan Ceria Bersama Anak-anak Panti Asuhan

Kedua, Demokrasi Nihilistik. Demokrasi semacam ini menjadi arena politik tempat bergayanya elitisme, hedonisme dan narsisme. Demokrasi nihilistik adalah praktik demokrasi yang diwarnai strategi kebohongan, manipulasi, pencitraan, dan kepalsuan. Demokrasi lebih merayakan trik-trik mengangkat emosi, perasaan, dan kesenangan, dengan mengabaikan substansi politik. Mereka membangun solusi atas segala bentuk persoalan melalui citra (imaginary solution) dan kebohongan retorikal.

Demokrasi “meruntuhkan maknanya sendiri”, yang menggiring ke arah permainan bebas “citra politik”, yang tercabut dari kompleksitas persoalan negara,bangsa,dan kemasyarakatan yang sesungguhnya. Ruang politik disarati oleh jutaan citra politik manipulatif, yang menggiring pada “desubstansial politik”,yaitu terabaikannya aneka persoalan substansial,dibalik gemerlap kemasan citra politik.

Maka hari ini tak penting seorang pemimpin bisa berbuat apa untuk rakyat (integritas), tak penting juga apakah dia punya gagasan (visi), tak perlu juga berpidato yang menggelorakan ribuan massa dan turun ke akar rumput (kapasitas). Tak perlu sedu sedan itu, Bung! Cukup dengan uangmu kau bisa membeli lembaga survei, membayar masa pendukung, mengangkangi partai politik, dan membuat iklan dengan pencitraan seindah yang kau kehendaki.

Satu pelajaran yang harus kita petik bahwa koreksi dalam demokratisasi harus terus dilakukan dengan menumbuhkan nilai-nilai kesetaraan, kebebasan, dan keadilan tanpa meninggalkan jati diri kebangsaan. Berhasil-gagalnya pemerintahan ditinjau dari tiga ukuran dasar yang menjadi tujuan kita bernegara: 1.seberapa mampu pemerintah melindungi warganegara dan keutuhan tanah air, 2.berapa tingkat kesejahteraan rakyatnya, dan3. kecerdasan yang dapat dicapai. Jika ukuran dasar itu tidak mampu terpenuhi, maka seluruh bangunan sosial dan tata kultural yang telah dibangun selama ini akan porak poranda.

Oleh :

Nama: Emyr Mochammad Noor

TTL: Jakarta, 12 September 1994

Asal Institusi: Universitas Muhammadiyah Jakarta

Organisasi: Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Cirendeu (KOMICI) Cabang Ciputat.

Cp: 081299242794

TINGGALKAN KOMENTAR