Prancis “Memelas” Hutang pada Kesultanan Banten

Prancis “Memelas” Hutang pada Kesultanan Banten

0
BAGIKAN

Oleh, Jemmy Ibnu Suardi, M.Pd.I
Co-Founder Mercusuar Institute

Abad ke-17 adalah masa keemasan Kesultanan Banten di Nusantara, dimulai sejak tahun 1596-1651 saat berkuasanya Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Qadir, Sultan Agung Banten I, dilanjutkan tahun 1651-1684 saat berkuasanya Sultan Abul Fath Abdul Fattah, yang populer dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa, Sultan Agung Banten II. Banten menjadi satu-satunya Kesultanan di Pulau Jawa yang menjadi destinasi utama perdagangan internasional dimana banyak warganegara asing baik dari Asia maupun Eropa yang membuka perwakilan kamar dagang untuk kawasan Asia Tenggara dan bermukim di Banten.

Tercatat beberapa Kamar Dagang Eropa banyak didirikan di Banten, katakanlah seperti Kamar Dagang Prancis, Inggris, Portugis, Denmark, Spanyol dan Belanda. Iklim perdagangan dan investasi yang kondusif di Banten abad-17 benar-benar menguntungkan bagi para investor. Perdagangan Internasional dengan komoditas utama berupa lada, beras, gula dan rempah-rempah lainnya. Meskipun banyak warganegara Asing dan Aseng yang datang ke Banten, tidak lantas membuat Kesultanan Banten merasa inferior di hadapan mereka. Bahkan banyak catatan sejarah menunjukan orang-orang asing ini merayu dan memelas meminta bantuan tambahan modal kepada Sultan Banten.

Bentuk superioritas Kesultanan Banten atas orang-orang Barat tampak jelas tatkala terjadi perselisihan antar pedagang Eropa yang mengganggu stabilitas perekonomian Banten. Seperti di catat Claude Guillot dalam bukunya Banten, Sejarah dan Peradaban, tahun 1609 Sultan Agung Banten I, Abul Mafakhir Mahmud Abdul Qadir, melalui Perdana Menterinya Ranamanggala mengusir Kamar Dagang Belanda dari Banten, karena orang-orang Belanda sering membuat ulah dan kekacauan di Banten.

Kamar Dagang Prancis, Royale Compagnie Française des Indes didirikan tahun 1664, kantor pusatnya di Paris, Prancis. Claude Guillot mencatat dengan detail kiprah Kamar Dagang Prancis Di Banten. Kamar Dagang ini sebagaimana Kamar Dagang Eropa lainnya digunakan sebagai alat untuk “ekspansi” perdagangan di kawasan Asia Tenggara. François Caron yang menjadi pimpinannya tahun 1669, dan mulai mengirimkan tiga armada Prancis ke Hindia, yaitu kapal Saint Paul, kapal Saint François, dan kapal Vaoutour, yang membawa 200 ton gandum, 2000 gulung kain, 100 pikul pucuk, 14 pikul candu, serta besi dan pemberat kapal. Mereka tiba di Banten bulan Maret tahun 1671.

Baca Juga :   Tb. Achmad Chatib dalam Revolusi Banten 1926

Di Banten saat itu sedang berkuasa Sultan Ageng Tirtayasa. Ketibaan armada Prancis ini disambut oleh Syahbandar Kaitsu, seorang Tionghoa Muslim, orang kepercayaan Sultan yang mengurusi bidang ekonomi, mereka dibawa menghadap kepada Sultan Agung Banten II. Dihadapan Sultan Ageng Tirtayasa mereka menjelaskan perihal keinginan berdagang di Banten, dengan menerangkan destinasi kapal, barang yang dikehendaki, dan sejumlah uang yang dimiliki.

Untuk merayu Sultan Ageng Tirtayasa, François Caron, Kepala Kamar Dagang Prancis memberikan beberapa hadiah yang di bawanya dari India, berupa lak, dua buah lemari, sebuah cermin besar, 12 pucuk senjata api, dua meriam kecil, bom tangan, dan lain-lain senilai 4000 real. Sultan Ageng Tirtayasa kemudian menandatangani perjanjian dagang dan menyewakan lima buah gedung untuk dijadikan kantor Kamar Dagang Prancis, berlokasi di Pecinan.

François Caron juga menyanggupi untuk membantu rencana Sultan Ageng Tirtayasa untuk menyerbu Palembang, sebuah armada perang Prancis yang diketuai oleh La Haye siap membantu Sultan, namun naas sebelum kapal itu datang ke Banten, terlebih dahulu kapal tersebut karam dan tenggelam di kawasan pantai Coromandel. François Caron setiap bertemu dengan Sultan Ageng Tirtayasa kerap membawa hadiah, seperti yang dilakukannya saat mengunjungi Sultan di Pontang, Caron membawa 1000 real, dan sepucuk senjata api yang cantik. Orang-orang Prancis pintar mengambil hati Sultan, sehingga Kamar Dagang Prancis mendapatkan banyak kemudahan berbisnis di Banten.

Baca Juga :   Muharam; Sejarah, Kemuliaan hingga Tradisi di Nusantara

Dalam perkembangannya di Banten, Kamar Dagang Prancis kerap kali mengalami bentrok dengan saingannya Kamar Dagang Belanda, terlebih Prancis sedang berperang dengan Belanda di Eropa. Meskipun demikian hubungan baik Prancis dengan Kesultanan Banten tetap terjaga dengan baik.

Jean Baptiste de Guilhen yang menjadi ketua Kamar Dagang Prancis di Banten tahun 1675, Guilhen berencana untuk meningkatkan kapasitas perdagangan di Asia Tenggara. Untuk memenuhi komoditas dagangnya, Guilhen berhutang 4000 real kepada Sultan Muda Banten. Dengan bantuan modal dari Sultan Muda Banten, kamar dagang Prancis melakukan ekspansi hingga ke Siam dan Tonkin.

Tidak hanya dengan Sultan Muda Banten, Jean Baptiste de Guilhen juga meminta tambahan modal dengan berhutang kepada Sultan Ageng Tirtayasa sebanyak 20.000 real, untuk menambah muatannya. Kamar Dagang Prancis memang acapkali kekurangan uang tunai, karena Prancis hanya mampu membawa barang-barang komoditas dagang dengan sistem barter.

Kesultanan Banten sejak era Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Qadir secara perlahan telah mengurangi transaksi barang dengan cara barter, terlebih di zaman Sultan Ageng Tirtayasa, Banten benar-benar menghapuskan sistem barter, dan mengharuskan transaksi dagang dengan cara tunai. Mau tidak mau, kamar dagang Prancis di Banten harus bersikap manis dan baik, “memelas” dihadapan Sultan Ageng Tirtayasa demi mendapatkan uang tunai untuk memenuhi muatan dagangnya.

TINGGALKAN KOMENTAR