Fenomena Kawin Cerai dan Psikologi Sosial

Fenomena Kawin Cerai dan Psikologi Sosial

0
BAGIKAN

Banteninfo(Opini),- Dalam berumah tangga penyebab perpisahan kedua setelah kematian ialah terjadinya sebuah “affair” atau akrab didengar dengan perselingkuhan. Menurut Kamus Besar Bahas Indonesia (KBBI), perselingkuhan berasal dari kata “selingkuh”. Selingkuh sendiri artinya suka menyembunyikan sesuatu untuk kepentingan diri sendiri, tidak berterus terang, tidak jujur, curang atau serong. Merujuk pada definisi diatas, maka pasangan yang suka menyembunyikan sesuatu dari pasangannya tentu saja dapat dikategorikan sedang melakukan perselingkuhan. Meskipun dalam konteks ini, perselingkuhan yang dimaksudkan bersifat luas dan masih umum.

Tingginya angka perceraiaan khususnya di beberapa propinsi menurut data Komnas Perempuan 2017, disebabkan perselingkuhan yang dilakukan pasangan masing-masing. Latar belakang perceraiaan pun biasanya ditandai dengan ketidakcocokan lagi dengan pasangan yang berujung pada KDRT.

Ketidakcocokan itu hanyalah alasan yang simplistik. Alasan sebenarnya karena salah satu pasangan tersebut sudah ketahuan selingkuh. Nah, bicara soal perselingkuhan. Dapat kita tarik benang merah dari sebuah teori psikologi sosial yang relatif dapat menjelaskan mengapa pasangan berumah tangga melakukan perselingkuhan secara sadar.

Apa saja latar belakang yang menyebabkan pasangan itu memiliki PIL (Pria idaman lain) dan WIL (Wanita idaman lain) atau yang ngetrend dengan Pelakor.

Menurut teori pertukaran sosial atau “Social Exchange Theory” sebuah perkawinan akan langgeng atau sebaliknya (tidak bertahan lama) karena adanya keuntungan-kerugian yang diterima pasangan.

Sebab, menurut teori ini, setiap hubungan yang dilakukan orang lain kelak mendapat imbalan sesuai dengan pengorbanan yang dilakukannya. Dalam hubungan antara dua orang atau lebih, selalu ada hitungan untung-rugi. Jadi, prilaku seseorang itu ditentukan berdasarkan perhitungannya, akan menguntungkan baginya, atau sebaliknya merugikan dirinya.

Baca Juga :   Komunikasi Krisis dalam Pengendalian Covid-19: Pemerintah Jangan Sampai Salah Langkah

Dalam konteks rumah tangga teori ini dapat menjelaskan. Bahwa, ketika salah satu pasangan merasa dirugikan, maka pihak yang dirugikan itu akan meminta perpisahan/ perceraiaan.

Sebab, menurut teori ini apabila pasangan sudah dirugikan dalam perkawinannya, pasangan itu akan meninggalkan pasangannya.

Begitupun sebaliknya. Ketika pasangan itu mendapat banyak keuntungan, hubungan perkawinan kedua pasangan itu akan langgeng dan bertahan. Sebab, tidak ada alasan apapun bagi salah satu pasangan untuk meminta perpisahan karena semua relatif terpenuhi (menguntungkan).

Keuntungan itu pun bisa bermacam-macam. Keuntungan yang utama tentu saja kesetiaan. Memiliki rasa saling menghargai dan menghormati. Menjunjung tinggi kehormatan pasangan, khususnya adat budaya timur. Bagi mereka yang berlatar belakang religius, maka pasangan ini tetap menjaga Agamanya dalam pernikahan yang diwujudkan dalam ibadah keseharian seperti sholat, puasa dan sebagainya.

Begitu juga dalam konteks materi. Salah satu pasangan, khususnya sang suami menafkahi rumah tangganya dengan memberikan kecukupan bagi pasangan. Kebutuhan sandang, pangan dan papanya terpenuhi. Juga tidak membiarkan istrinya berada dalam kondisi kesulitan materi karena sang suami enggan menafkahkan dirinya. Singkatnya, dalam konteks ekonomi, pasanganya mampu bertanggung jawab sebagai kepala rumah tangga.

Sebaliknya, apabila kondisi ekonomi sudah berantakan, ditambah dengan berbagai tabiat pasangan yang “aneh-aneh” terus dilakukan tanpa perubahan, maka kerugian bagi pasanganpun akan dialami.

Sedangkan contoh prilaku yang merugikan bagi pasangan seperti tidak menafkahi secara batin dan biologis, membiarkan istri menjadi tulang punggung keluarga, menjadikan istri sebagai “ban serep” saat di rumah, melakukan eksploitasi terhadap istri, serta tidak menghargai sang istri dalam mengambil keputusan rumah tangga.

Baca Juga :   Hambatan Implementasi Kartu Kredit Pemerintah Dalam Meningkatkan Produktivitas Uang Persediaan

Contoh teraktual untuk kasus ini misalnya pasangan Sule dan Lina, istri yang dinikahi puluhan tahun oleh Sule. Hanya karena alasan tidak diikut sertakan dalam mengambil keputusan dalam rumah tangga, Lina istri Sule menggugat cerai sang suami. Alasannya, kata pengacara Lina, hal tersebut sudah terjadi berulang kali sehingga memuncak dan tidak lagi tertahan, katanya, seperti dikutip berbagai media.

Merujuk pada teori pertukaran sosial tersebut, maka berbagai kondisi sebagaimana yang diungkapkan diatas, memberikan penjelasan bahwa perceraiaan disebabkan tidak adanya keuntungan yang didapatkan dari pasangan dalam perkawinanya. Karena merasa tidak ada keuntungan, maka pasangan itu memilih berpisah dengan beragam alasannya.

Dari situlah kita mendapatkan gambaran bahwa perceraiaan diakibatkan kurangnya imbalan yang didapatkan oleh pasangan masing-masing.

Imbasnya, tentu saja menyebakan perselingkuhan. Pasangan yang merasa “kurang” di rumahnya akan mencari “tambahan” kasih sayang atau perhatian diluar dari orang lain. Sehingga, secara tidak langsung dimulailah babak baru perselingkuhan antara pasangan dengan PIL atau pelakor.

Maka dari itu, agar pasangan anda tidak melakukan perselingkuhan sebagaimana yang terlanjur dialami orang lain, salah satu kunci langgengnya sebuah pernikahan ialah memberikan kecukupan bagi pasangan. Berikan yang terbaik dari diri anda. Tidak berlebihan, juga tidak dibuat-buat. Disamping itu, berkomunikasilah apa adanya dengan pasangan masing-masing secara terus terang. (Red*)

Oleh Rudy Gani

Penulis adalah Ketua Umum Badko HMI Jabotabeka Banten, Periode 2010-2012. Saat ini Aktif menjadi Analis Media 

TINGGALKAN KOMENTAR